Sabtu, 18 Juni 2011

Hadiah Untuk Guru


Pagi ini kota Jakarta memulai harinya dengan dihiasi kemacetan lalu lintas dan teriknya panas matahari. Namun, hal itu keadaan seperti ini sudah sudah menjadi pemandangan sehari-sehari bagi masyarakat kota metropolitan ini. Begitu juga denganku yang sudah 25 tahun lahir dan tinggal di kota yang sangat luas ini.
Setelah melawan rintangan dari desakan kendaraan-kendaraan yang berebut ingin saling mendahului dan teriknya matahari yang tidak sabar untuk segera sampai di puncaknya, akhirnya aku telah tiba di tempat yang kutuju, sanggar tari “Muhammad Darwis” yang telah kudirikan sejak 4 tahun yang lalu.
Aku langsung masuk ke ruang latihan. Seorang laki-laki seumuranku sedang mengawasi anak-anak yang sedang berlatih.
Assalamu’alaikum Wisnu… Sibuk sekali sepertinya..” kataku kepada laki-laki itu.
Eh, Refan. Wa’alakumsalam… Iya, soalnya anak-anak ini seminggu lagi akan mengikuti perlombaan. Jadi, aku harus melatih mereka sebagus mungkin.” ucap Wisnu sambil sesekali memperhatikan gerak-gerik anak-anak yang sedang berlatih.
Wah… mudah-mudahan, mereka memenangkan lomba itu ya.”
Iya, aku juga berharap begitu, Fan.”
Mmm… Bagaimana keadaan di sini, Wis? Aku sudah lama tidak datang ke sini”
Alhamdulillah, anak-anak yang berlatih di sanggar ini semakin banyak, Fan. Mereka juga terlihat semangat sekali, meskipun banyak di antara mereka yang masih duduk di bangku TK.” jawab Wisnu dengan semangat.
Bagus lah kalau begitu. Kamu dan pelatih-pelatih yang lain tidak kesulitan kan mengajar mereka?”
Tidak Fan. Malahan, melihat wajah-wajah mereka yang bersemangat itu, kami juga ikut semangat melatih mereka.”
Maaf ya Wis, aku tidak bisa ke sini setiap hari karena kamu tau sendiri kan, aku harus menyelesaikan kulliah ku di bidang seni dulu.”
Refan..Refan.. Tidak apa-apa kok. Mudah-mudahan kamu bisa cepat lulus ya, supaya kamu bisa melatih juga di sanggar ini.”
Iya, aku juga ingin sekali bisa melatih mereka. Oh ya, anak-anak ini akan menampilkan tarian apa di perlombaan nanti?”
Mereka akan menampilkan tarian Cakalele yang berasal dari daerah Maluku. Aku mau melatih mereka dulu ya…” ucap Wisnu sambil kembali melanjutkan melatih anak-anak.
Hmm… Tarian Cakalele… Tarian itu adalah tarian yang pertama kali aku tampilkan bersama teman-temanku dulu. Aku tersenyum sambil melihat anak-anak yang sedang berlatih tarian itu. Senang rasanya melihat badan-badan mungil mereka terlihat begitu bersemangat mengikuti gerakan sang pelatih. Tiba-tiba ingatanku pergi membawaku kepada saat-saat yang sangat bermakna dalam hidupku kurang lebih sebelas tahun yang lalu.


 


Hoaaahhemm…” aku masih mengantuk tapi tetap saja Ibu membangunkanku dari mimpi indah ku.
Ayo bangun. Nanti terlambat ke sekolah lho…” Ibu membangunkanku dengan lembut.
Huh, Ibu masih saja memperlakukanku seperti anak SD. Aku ini sudah SMP Bu.. Aku bukan anak kecil lagi.”
Ya.. habisnya kamu juga sih, yang gak bangun-bangun dari tadi. Ibu Cuma gak mau kamu terlambat pergi ke sekolah. Ayo cepat mandi sana… katanya udah gede…”
Iya… iya…” jawabku dengan malas.
Beberapa saat setelah aku mandi, aku mencium aroma nasi goreng yang sangat lezat. Mmm.. tak sabar mau makan nasi goreng kesukaanku.
Selamat pagi, Ma… Selamat pagi, Pa…”
Udah segar nih..? Makan dulu yuk…” kata Mama sambil menyodorkanku sepiring nasi goreng lengkap dengan telur ceplok nya.
Wah.. Nasi goreng kesukaanku nih…” setelah berdo’a, aku memakan nasi goreng kesukaanku ini dengan lahap. Nasi goreng butan mama ini selalu menjadi kesukaan ku. Bagiku, tak ada yang bisa menandingi masakan mamaku. Kenyang… Setelah menghabiskan semuanya, aku langsung berpamitan dengan kedua orang tuaku.
Aku berangkat dulu ya, Pa… Ma… Assalamu’alaikum..”
Wa’alaikumsalam… Hati-hati di jalan ya, Refan…”
Iya…” Aku mengayuh sepedaku meninggalkan pekarangan rumah.


 


Di SMPN Sinar Mentari, sudah banyak murid-murid dan guru-guru yang berdatangan. Di tempat parkir sepeda, seperti biasa sudah ada sepeda tua Pak Darwis terparkir disana. Aku juga bertemu dengan Yudi dan Aldo. Sepertinya, mereka juga baru datang.
Hai, Refan…!!” seru mereka serentak.
Hai, Yudi.. Aldo..”
Eh, Fan. Kamu sudah mengerjakan PR PKn gak? Soal-soalnya sulit banget..” tanya Aldo.
Ah, loe Do, kebiasaan.. Bilang aja mau nyontek.” Kata Yudi sambil mencibir.
Alaaah.. Loe juga biasanya gitu..” kata Aldo gak mau kalah.
Udah-udah deh..!! Aku udah ngerjain kok, ayo kita ke kelas dulu.” Aku pun memutuskan untuk menengahi.
Yuk.. Tapi pinjem ya Fan..”
Iya..Iya..”
Mencontek sudah menjadi kebiasaan bagi para murid di sekolah, bahkan menjadi sebuah budaya. Begitu juga yang terjadi di sekolahku ini.
Tak lama kemudian bel tanda masuk pun berbunyi. Di kelas VIII B, sebagian anak yang tadinya beraksi saling contek-menyontek pun duduk ke tempat masing-masing. Beberapa saat kemudian, lelaki separuh baya memasuki ruang kelas VIII B.
Selamat pagi, anak-anak…” ucap Pak Darwis.
Selamat pagi, Pak…” jawab murid-murid serentak.
Bagaimana pekerjaan rumah yang saya berikan kemarin? Sudah dikerjakan semua kan?” tanya Pak Darwis kepada para murid.
Iya, Pak…”
Sekarang, silakan kumpulkan pekerjaan rumah kalian ke meja saya.”
Baik, Pak…”
Baiklah, hari ini kita akan melanjutkan pelajaran kita tentang SPLDV. Apa kalian tau, apakah SPLDV itu?”
Wawan yang memamg pintar matematika pun mengacungkan tangannya.
Saya tau, Pak. SPLDV itu singkatan dari Sistem Persamaan Linier Dua Variabel.”
Iya, benar Wawan… Nah, jadi…”
Tiba-tiba Pak Ramlan, guru Biologi kelas VII mengetuk pintu kelas dan memanggil Pak Darwis. Pak Darwis pun keluar dan berbincang-bincang sebentar.
Baiklah anak-anak, karena Bapak ada keperluan mendadak silakan kerjakan soal Latihan No. 1 sampai 5 di LKS. Bapak tinggalkan kalian sebentar ya…”
Iya, Pak…” jawab kami dengan semangat.
Lama juga gak papa kok, Pak… he..he..” celetuk Dion. Untung Pak Darwis sudah keluar dari kelas, kalau tidak beliau bisa marah.
Bukannya mengerjakan tugas, warga kelas VIII B malah ribut dan jalan kesana kemari gak keruan. Aku yang sedang mengerjakan tugas, diajak bicara oleh Yudi, Aldo dan Dion.
Eh, Fan. Loe udah liat gak film hollywood yang judulnya 'Set Up' ...?” Tanya Yudi.
Iya tuh, filmnya keren lho… Film tentang breakdance gitu...” sahut Dion.
Oh ya...? Wah, gue baru denger tuh filmnya..” jawabku.
Wah.. Loe ketinggalan, Fan. Filmnya emang bagus banget…!! Gaya ngedancenya juga keren banget, bro... wih, gue pengen deh breakdance kayak di film itu...” Sahut Aldo tidak mau ketinggalan.
Wah.... gue gak sabar pengin nonton filmnya. Kalian punya kasetnya gak?” kataku sambil terus mengerjakan tugas yang diberikan Pak Darwis tadi.
Mmm... kita kemarin nonton di bioskop, fan... he..he..“ kata Yudi.
Kok kalian gak ngajak-ngajak gue sih?” tanyaku kesal.
Yah, maaf Fan... kan loe sendiri yang bilang kalo loe gak bisa ikut, waktu kita ngajakin loe hari minggu kemarin....” kata Dion.
Aku pun mengingat kejadian hari minggu kemarin. Ya, benar.. waktu itu, aku tidak bisa ikut dengan mereka pergi ke bioskop karena sedang mengerjakan PR. Seandainya aku tau kalau mereka mau menonton film itu, aku juga mau ikut, tapi ya sudahlah.
Mereka pun terus berbincang-bincang tentang berbagai hal. Baik musik, olahraga, dan banyak hal lainnya. Sementara aku masih tetap mengerjakan tugas sambil sesekali menimpali perbincangan mereka.


 


Besok ada ekskul tari tradisional. Mmm.. bosan, kenapa tidak diganti dengan breakdance saja ya.., pikirku. Selama ini, sebenarnya anak-anak di sanggar tari juga sudah mulai bosan. Apalagi, menurutku sekarang banyak jenis tari yang lebih bagus daripada tari tradisional, salah satunya breakdance.
Keesokan harinya, pukul 07.00 WITA, di SMPN Sinar Mentari, Jakarta Selatan.
Dari lapangan, aku mendengar suara ribut para murid di kelas VIII B.
Tok..tok..tok.. Selamat pagi…” aku mengetuk pintu kelas dan memberikan salam dengan nada agak sedikit keras, namun tak ada satu anak pun yang menghiraukan.
Anak-anak sepertinya sedang mengerumuni sesuatu, tapi apa ya?” batinku.
Kuhampiri kerumunan anak-anak itu dan menanyakannya pada Dion, yang kebetulan berada paling belakang dari kerumunan tersebut.
Di, lagi ngerumunin apa sih?” tanyaku.
Loe gak tau ya? Itu lho.. Loe tau kan sama Rangga anak kelas VIII D?”
Iya tau.. Emangnya kenapa?”
Kabarnya, dia ikut kompetisi dance dan menjadi pemenang, sampai diberitakan di majalah remaja yang terkenal lho… Dan sekarang, mereka lagi ngerumunin majalahnya.” jelas Dion.
Wah… hebat juga ya, Rangga.” kataku kagum.
Wuiihh… gue pengen banget kayak dia…” tiba-tiba Yudi keluar dari kerumanan dan menghampiri kami.
Udah selesai baca ya, Yud? Wah gue mau baca juga dong.” ucap Dion.
Iya. Loe gak mau baca juga Fan…?” tanya Yudi.
Entar deh, kalo udah gak dikerumunin lagi. Lagian, sebentar lagi kayaknya bel masuk berbunyi nih. Oh ya, sore ini kan ada ekskul tari tradisional, loe masuk kan?”
Mmm.. gak tau nih, gue bosen. Eh, gimana kalau kita ngusulin supaya kita latihan dance modern aja, kan lebih asyik. Kali aja bisa kayak Rangga.”
Bener juga ya, entar deh kita usulin ke Pak Darwis.” ucapku setuju.


 
Sorenya, pukul 16.00 WITA di aula sekolah.
Selamat sore anak-anak…!” sapa Pak Darwis yang selain mengajar Matematika, beliau juga melatih ekskul tari tradisional di sekolah kami.
Selamat sore, Pak…”
Anak-anak… Hari ini kita akan berlatih tarian Cakalele yang berasal dari Maluku yang dimainkan oleh sekitar 30 laki-laki dan perempuan. Para penari cakalele pria biasanya menggunakan parang dan salawaku sedangkan penari wanita menggunakan lenso (sapu tangan).” Pak Darwis menjelaskan sambil menunjukkan beberapa foto dari LCD.
Para penari laki-laki mengenakan pakaian perang yang didominasi oleh warna merah dan kuning tua. Di kedua tangan penari menggenggam senjata pedang (parang) di sisi kanan dan tameng (salawaku) di sisi kiri, mengenakan topi terbuat dari alumunium yang diselipkan bulu ayam berwarna putih. Sementara, penari perempuan mengenakan pakaian warna putih sembari menggenggam sapu tangan (lenso) di kedua tangannya. Para penari Cakalele yang berpasangan ini, menari dengan diiringi musik beduk (tifa), suling, dan kerang besar (bia) yang ditiup. “
Keistimewaan tarian ini terletak pada tiga fungsi simbolnya. (1) Pakaian berwarna merah pada kostum penari laki-laki, menyimbolkan rasa heroisme terhadap bumi Maluku, serta keberanian dan patriotisme orang Maluku ketika menghadapi perang. (2) Pedang pada tangan kanan menyimbolkan harga diri warga Maluku yang harus dipertahankan hingga titik darah penghabisan. (3) Tameng (salawaku) dan teriakan lantang menggelegar pada selingan tarian menyimbolkan gerakan protes terhadap sistem pemerintahan yang dianggap tidak memihak kepada masyarakat. “
Nah, sejauh ini, apakah ada yang kurang jelas?” tanya Pak Darwis.
Semua anak yang ada cuma diam. Tampaknya mereka sedang berada dalam imajinasi mereka sendiri.
Baiklah kalau begitu. Ekskul kita akan mengikuti lomba yang akan diadakan sekitar satu bulan lagi. Kita akan menampilkan tarian Cakalele. Namun karena tarian Cakalele ini berpasang-pasangan. Maka, mungkin semua dari kalian yang bisa tampil. Jadi, bapak harap kalian bisa berlatih dengan keras ya…”
Tiba-tiba Yudi mengacungkan tangan.
Iya, Yudi. Silakan.” Pak Darwis mempersilakan Yudi untuk mengeluarkan pendapatnya.
Pak, menurut saya bagaimana kalau kita mengganti tari tradisional dengan breakdance? Biar lebih seru, Pak…” kata Yudi.
Iya, selama ini kita cuma belajar kayak gitu aja, Pak.” sahut Aldo.
Iya, Pak. Kayak Rangga anak kelas VIII D itu, dia hebat ngedance dan bisa terkenal…” Yoyok juga ikut menimpali.
Mmm… Baiklah saya pikir pikir dulu ya, anak-anak… Tapi, walau bagaimanapun kita harus tetap melestarikan warisan budaya tanah air kita. Meskipun sekarang sudah banyak tarian-tarian modern yang berbagai macam, tapi tarian tradisional jangan dilupakan, ya…” jelas Pak Darwis.
Baik, Pak…” sahut anak-anak.
Meskipun mereka mengatakan “Iya” di mulut mereka, namun dalam hati, mereka mungkin tidak mengiyakan perkataan Pak Darwis tadi.
Anak-anak kelihatan tidak semangat setelah mendengarkan perkataan Pak Darwis tadi. Tapi mereka tetap melaksanakan latihan tarian Cekalele sore itu.


 


Beberapa hari kemudian…
Duh.. Hari ini ada pelajaran Fisika lagi nih. Untung aja, kemarin gak ada Pekerjaan Rumah yang biasanya menumpuk. Aku berjalan menuju kelas, saat aku melewati ruang Kepala Sekolah, aku mendengar percakapan antara Pak Darwis dan Pak KepSek.
Saya mohon, Pak… Ekstrakurikuler ini sudah lama diadakan. Kalau ekstrakurikuler tari tradisional ini ditiadakan, bagaimana dengan nasib anak-anak yang mengikuti ekstrakurikuler ini? Jumlah mereka juga cukup banyak, Pak…”
Ekstrakurikuler tari tradisional ini memang sudah lama diadakan, tapi tidak ada satu prestasi pun yang didapat. Dan saya lihat, anak-anak juga tidak begitu bersemangat latihan.”
Baiklah, begini saja, Pak… Kalau dalam perlombaan nanti mereka tidak mendapatkan juara,…”
Apa, Pak…?”
Dengan sangat terpaksa… ekstrakurikuler tari tradisional ini akan ditiadakan…”
Tapi, Pak…”
Aku tidak sempat lagi mendengarkan percakapan antara Pak Darwis dan Pak Burhan karena bel masuk sudah berbunyi. Apa benar ya, ekskul tari akan ditiadakan kalau kami tidak menang? Lalu bagaimana tanggapan anak-anak kalau tau hal ini? Ah, lebih baik aku tidak usah memberitahukan anak-anak dulu, lagian kan ini masih belum pasti. Semoga saja itu tidak terjadi, karena aku masih mau belajar tari.


 


Satu minggu kemudian, saat ekskul tari…
Assalamu’alaikum anak-anak…” Pak Darwis memasuki aula.
Wa’alaikumsalam, Pak…”
Pak Darwis memandang ke arah kami sejenak.
Hari ini banyak yang tidak hadir, ya… Kenapa…?” Tanya Pak Darwis.
Kayaknya mereka malas, Pak.” jawab Rina.
Pak Darwis terdiam sejenak. Jelas saja beliau kecewa, karena perlombaan nanti adalah penentu nasib ekskul ini. Kalau anak-anak banyak yang malas datang seperti ini, bagaimana bisa memenangkan perlombaan?
Baiklah, kita tetap latihan. Refan…”
Iya, Pak…”
Tolong ambilkan alat-alatnya ya…”
Baik, Pak…”




 


Aku memarkirkan sepedaku di tempat biasa. Tapi, tunggu dulu… Kayaknya ada yang tidak biasa. Oh iya, aku baru menyadari kalau sepeda tua Pak Darwis tidak ada di sana. Tumben, biasanya pagi-pagi seperti ini beliau sudah ada di sekolah. Apalagi hari ini kan jam pelajaran pertama di kelasku adalah Matematika. Ada apa, ya…?
Saat jam pelajaran pertama dimulai, Pak Ramlan masuk ke kelas kami dan memberikan tugas Matematika. Kata beliau, Pak Darwis sedang sakit jadi tidak bisa mengajar hari ini. Hmm… sakit apa ya? Setahuku, meskipun Pak Darwis sudah berumur setengah abad lebih, tapi sepertinya beliau terlihat sangat sehat dan tidak pernah absen karena sakit. Yah.. Wallahu a’lam deh…
Eh, Yud.. Kok waktu ekskul tari kemarin loe gak masuk sih?” tanyaku.
Iya… Gue males, Fan… Tapi sekarang gue ngerasa bersalah deh.. Secara tidak langsung, gue dan temen-temen yang gak masuk kemarin itu udah mengecewakan Pak Darwis. Dan sekarang Pak Darwis lagi sakit…” kata Yudi.
Gue gak tau apa yang harus kita lakuin… Tapi Cuma satu harapan Pak Darwis.” Ucapku.
Apa, Fan…?” Tanya Yudi.
Kita harus menang di perlombaan nanti. Kalau gak.. ekskul tari akan ditiadakan oleh sekolah, dan pastinya itu akan membuat perjuangan Pak Darwis selama ini mempertahankan ekskul tari ini akan sia-sia.” Jelasku.
Apa…? Ekskul tari bakal ditiadakan? Loe tau dari mana?” Tanya Yudi terkejut.
Gue gak sengaja mendengar percakapan antara Pak Darwis dan Pak Burhan saat melewati ruang KepSek.”
Mmm… bagaimana kalau kita dan anak-anak ekskul tari yang lain menjenguk Pak Darwis setelah pulang sekolah nanti?” usul Yudi.
Oke.. Tapi, emangnya loe tau rumah sakit yang ditempati Pak Darwis dimana?”
Gue tau kok… Entar gue ngomong ke teman-teman yang lain deh, ya…”
Oke… Baguslah kalau begitu.”
Dalam hati aku berdo’a mudah-mudahan Pak Darwis bisa kembali pulih dan dapat menyaksikan kami menjadi juara di perlombaan nanti. Amiiiinn…


 


Akhirnya kami telah tiba di rumah sakit yang merawat Pak Darwis. Dari informasi yang kudapat, ternyata Pak Darwis sudah lama mengidap penyakit darah tinggi, tapi baru diketahui beberapa hari yang lalu. Dan katanya juga, sekarang penyakit darah tinggi itu sudah berkembang menjadi stroke.
Saat kami memasuki kamar beliau, kami bertemu dengan keluarga beliau. Dan Pak Darwis masih pulas dalam tidurnya.
Tolong jangan rebut ya, dek… Pak Darwis sekarang sedang tidur.” Kata wanita yang ada di samping Pak Darwis. Sepertinya, wanita ini adalah anak beliau.
Iya, Bu…” jawab kami dengan pelan.
Kami pun memandangi Pak Darwis yang sedang tidur dan pikiran kami melayang kepada saat-saat yang kami tempuh di sekolah bersama beliau. Beliau dikenal sebagai guru yang disegani dan diteladani oleh guru-guru yang lain.
Selain ramah kepada manusia, beliau juga ramah kepada binatang dan tumbuhan. Contohnya, beliau selalu menjaga dan merawat tumbuhan yang ada di sekolah mulai dari menanami, menyiram dengan air, sampai membersihkan sampah-sampah yang berada disekitarnya. Pernah suatu ketika, Pak Darwis menemukan anak kucing yang sedang kelaparan. Lalu, beliau langsung memberi makan anak kucing itu dan merawatnya. Yang paling aku banggakan dari beliau adalah beliau selalu berusaha untuk melestarikan budaya Indonesia, khususnya tari tradisional.
Tidak berapa lama kemudian kami pun pulang dan tidak ingin mengganggu Pak Darwis yang tertidur pulas. Saat kami akan pulang, kami bertemu dengan para guru di sekolah yang ternyata juga ikut menjenguk Pak Darwis.


 


Hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu sekaligus paling mendebarkan bagi anak-anak ekskul tari tradisional SMPN Sinar Mentari. Karena hari ini adalah hari yang menentukan apakah ekskul tari ini akan ditiadakan atau tidak.
Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarakatuh…” kata pembawa acara yang akan memimpin acara perlombaan pada hari itu.
Wa’alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh…”jawab para peserta dan penonton yang hadir.
Acara perlombaan seni tari tradisional ini pun dibuka dengan penampilan dari anak-anak umuran TK yang berasal dari salah satu sanggar yang terkenal di Jakarta. Grup kami mendapatkan nomur urut ke 5 untuk tampil. Kami pun memanfaatkan waktu dengan belajar dari penampilan-penampilan grup-grup lain yang lebih dahulu tampil, agar nantinya kami lebih baik dari penampilan mereka.
Tak terasa, sekolah yang bernomor urut 4 pun tampil dan kami segera bersiap-siap di belakang panggung. Tidak berapa lama kemudian, grup itu pun selesai menampilkan tarian mereka.
Oke.. Itulah tadi Tari Piring yang telah ditampilkan oleh SMPN Tunas Bangsa. Dan sekarang, kami persilakan kepada grup tari dari SMPN Sinar Mentari untuk menampilkan tarian mereka…”
Kami pun segera ke panggung dan menampilkan seni tari dari Jawa Tengah, yaitu Reog Ponorogo. Kami berusaha untuk tampil maksimal agar tidak mengecewakan Pak Darwis. Dan supaya tidak ada lagi yang memandang sebelah mata terhadap ekskul tari kami. Tak terasa penampilan kami pun selesai dan para penonton pun bersorak dan bertepuk tangan.
Dan inilah saat-saat yang paling mendebarkan bagi kami.
Baiklah, para juri sudah berunding dan telah mendapatkan pemenangnya. Sebelumnya saya akan mengumumkan Juara 2 dan Juara 3 terlebih dahulu.”
Juara 2 diraih oleh… SMPN Melati Putih…”
Juara 3 diraih oleh… SMPN Tunas Bangsa…”
Dan inilah saat-saat yang ditunggu-tunggu… Juara Pertama diraih oleh………… SMPN… Sinar Mentari…!!!”
Selamat kepada para pemenang…”
Alhamdulillah… kami tidak menyangka kalau kami akan menang. Akhirnya kami tidak mengecewakan Pak Darwis. Piala ini akan kami hadiahkan kepada Pak Darwis atas keteguhan beliau dalam melatih kami dan semangat beliau yang tak pernah putus. Dan berita membahagiakan lainnya, ekskul tari ini tidak akan ditiadakan.


 


Kami pun membawa kabar bahagia ini kepada Pak Darwis. Alhamdulillah, saat kami datang beliau tidak sedang tidur. Jadi kami bisa menceritakan semuanya.
Assalamu’alaikum, Pak…” kata kami serentak.
Kami berhasil memenangkan lomba itu, Pak… Dan piala ini kami hadiahkan untuk Bapak.”
Karena stroke yang dideritanya beliau kesulitan untuk berbicara. Namun, dari wajah beliau terlihat kebahagiaan dan rasa bangga yang terpancar. Airmata pun menetes dari mata Pak Darwis karena rasa haru yang beliau rasakan. Tak terasa mata kami pun juga ikut berkaca-kaca.


 


Kejadian itu tidak pernah kulupakan sampai sekarang. Namun sayangnya, raut kebahagiaan yang terpancar dari wajah Pak Darwis itu adalah raut kebahagiaan yang terakhir kali aku lihat dari Pak Darwis. Karena, beberapa hari setelah kejadian itu beliau kembali ke sisi Tuhan Yang Maha Esa karena keadaan beliau yang semakin hari semakin buruk dan tidak dapat terselamatkan lagi.
Kini, sanggar “Muhammad Darwis” ini kudirikan sebagai hadiahku kepada Pak Darwis.
Eh, Ref… Kok melamun gitu sih…?” tiba-tiba suara Wisnu mnyadarkanku dari pikiranku yang baru berjalan-jalan ke masa lalu.
Eh, Wisnu… ngagetin aja, udah selesai ya, latihannya?”
Iya… Sudah waktunya Zhuhur nih, sholat dulu yuk…”
Oke…”


 
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar